Rabu, 31 Juli 2013

Kesiapan Kerja dan Tanggung Jawab

Artikel ini berlaku bagi anda yang sedang mencari kerja atau yang sedang bekerja...

Dalam fenomena di masyarakat kita, pernahkah anda mendengar, "Mencari kerja itu susah!!" Atau kurangnya niat untuk mencari kerja?

Uang memang bukan permasalahan dalam hidup, namun kenyataannya kita butuh uang untuk makan dan minum, membayar PAJAK tempat kita, membayar PAJAK penggunaan jalan raya, membayar PAJAK berkendaraan, plus biaya administrasi untuk membayar operator yang mengerjakan transaksi pajak tersebut dan wah banyak dong. Siapa kah yang bertanggung jawab atas hal-hal tersebut?

Berarti kita harus KAYA dunk?

Apa yang menyebabkan hal memilukan "kerja itu susah" tak asing terdengar ditelinga? Bukan kah hal itu adalah hal yang memilukan? Siapa yang bertanggung jawab dengan semua itu? Pemerintah? Para pendidik? Orang tua anda? (coba simpen dulu jawabannya)

Dunia itu terlalu kompleks? Atau kita yang tidak mau berpikir? Isi dari artikel ini hanya mencoba mengajak anda sebagai pembaca untuk menggali permasalahan tersebut. Artikel akan berlanjut dalam bentuk pertanyaan untuk MENGOLAH LOGIKA anda...

Tak perlu jauh ke luar negri untuk melihat permasalahan yang kita temui dalam keseharian. Artikel ini akan mencoba berbicara mengenai akar masalah itu dari mana.

Profesi-profesi yang dikerjakan dalam masyarakat kita umumnya ditempuh melalui jalur pendidikan/edukasi dasar, belum mencapai taraf mengaplikasikan langsung materi yang telah ditekuni (kebanyakan dikarenakan adanya faktor kekurangan finansial untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi).

Dalam pendidikan yang kita lalui, kita menghafalkan, kita berhitung dan kita mengimplentasikan apa yang telah kita pelajari lewat ujian, namun setelah melalui proses edukasi kita dihadapkan dengan pekerjaan yang berbeda sekali dengan aktualisasinya? Kenapa bisa berbeda? Apakah ada yang salah dengan pendidikan?

Coba gali lagi lebih dalam lagi...
(saya tau anda mampu, mari kita gali sama-sama dalam artikel ini)

Apakah dosen sudah maksimal dalam memberikan materi dan implementasi nyata yang dihadapi di lapangan kerja yang sesungguhnya? Apakah kita sebagai murid sudah menjalankan tugasnya dengan baik? Kerja sama keduanya penting sekali untuk menciptakan SDM yang potensial di lapangan kerja nyata..

Kenyataannya kita lihat bahwa tenaga pengajar di Indonesia itu jumlahnya sedikit sekali. Dalam 1 sekolahan (ambil contoh Sekolah Menengah Pertama), umumnya 1 pendidik itu berperan untuk mendidik 3 tingkatan yang berbeda di mana dalam 1 tingkatan terdapat beberapa kelas yang berbeda (1a ,1b, 1c, dst yg terbagi tergantung dari jumlah murid per angkatannya)

Jika kita diposisikan jadi mereka, tampaknya cukup memuakan juga mengajar beberapa kelas dalam 1 hari. Di mana dalam satu kelas terdapat (biasanya) sekitar 40 orang murid yang memiliki watak dan prilaku beragam. Dan, harus mengajar FULL TIME + SETIAP HARI (kecuali hari minggu) dengan gaji tidak seberapa (untuk refreshing pun rasanya kurang)

Gaji guru itu ditentukan oleh pemerintahan di mana ada patokan dasar (yg menurut saya kurang realistis) untuk peningkatan salary/bulannya dengan KEHARUSAN mengikuti seminar nasional dan ujian khusus yang disediakan oleh pemerintah..

Tidak ada keadilan di negara ini, tapi mau tidak mau mereka HARUS MAU demi menghidupi diri mereka dan keluarganya? Bandingkan dengan tenaga pengajar di negara lain, tenaga pengajar tidak hanya 1 orang untuk beberapa kelas.. Dalam 1 kelas bahkan terdapat 2 pendidik (guru dan asisten)..

Cukup yah, kita bisa menilai sendiri bagaimana fenomena yang terjadi di negara kita. Sekarang saya ingin beralih ke posisi murid sebagai konsumen yg diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Bicara tentang kenyataannya, apakah edukasi atau jurusan yang kita ambil sudah sejalan dengan cita-cita yang ingin kita raih? Atau kita menjalaninya hanya karena suruhan orang tua? Hanya sekedar untuk gengsi? Tak lepas dari itu, cita-cita kita pun mungkin berubah karena pergaulan...

Sebelum mengatakan, "hmm, bener juga yah." coba anda survey terlebih dahulu, jadi tidak asal percaya. Lagi pula siapa sih saya? Hanya penulis artikel blog...

Sedikit share cerita yah : Dahulu kala sih saya bercita-cita menjadi dokter, tapi malah mengambil jurusan Teknik Industri hanya karena (1.) Orang tua saya mendesak saya untuk segera masuk kuliah, (2.) Saya memilih jurusan tersebut berdasarkan hasil psikotest yang diadakan di sekolah saya saat itu..

Kenyataannya saya muak dengan pelajarannya, namun karena alasan (1.) mau tidak mau saya harus menyelesaikan edukasi saya karena biaya yang dikeluarkan oleh orang tua saya..

Tak masalah jika kita acuh tak acuh karena berlatar belakang orang tua yang mapan dan mampu meng-edukasi kita supaya dapat menjadi manfaat dimasyarakat. Namun, bagaimana jika kita dihadapkan dengan orang tua yang otoriter? Orang tua yang dogmatis? Orang tua yang cuek? Tidak punya orang tua? Tidak memiliki kemapanan finansial yang mampu membiayai edukasi kita sendiri?

Rasanya tidak mungkin kita membantah mereka karena MERASA tidak ada PILIHAN yang LEBIH BAIK. Dan... Hey! Hebat anda masih bertahan sampai dikalimat ini bersama saya diartikel ini. Hehehe...

Saya lanjutkan kembali ya...
Faktor-faktor tersebut ternyata belum disikapi secara maksimal oleh pelaku sistem yang ada di dalamnya. Mungkin kita TAU hal tersebut terjadi karena ada yang SALAH, tapi apakah kita sudah mencoba BERKOMPROMI dengan orang-orang yang terkait?

Bukan berarti sistem pendidikan tersebut SALAH. Tidak ada yang salah dengan pendidikan. Kenyataannya, ada dari mereka yang sukses karena materi yang mereka perdalam tanpa harus melalui bimbingan guru/dosen/pendidiknya. itu PILIHAN

Umum banget : Kita dihadapkan dengan manusia, di mana manusia pada dasarnnya EGOIS. Tapi, kenapa kita harus berusaha mengerti guru/dosen egois? Jika pada akhirnya mereka hanya butuh kepuasan rasa? (maksud kepuasan rasa : orang sombong butuh pujian. orang gila hormat butuh respek. orang tukang ngatur butuh dituruti kemauannya, dll)

Pendek kata : kita salah fokus. Bukan kah tujuan awalnya kita membayar EDUKASI itu untuk menjadi manfaat?

Sedikit Renungan : Sebetulnya untuk apa kita menghadapi orang-orang yang pada akhirnya hanya akan membuang-buang waktu kita sendiri? Intinya sih di NIAT, dan pola pikir kritis mengenai apa yang bisa kita kembangkan di diri kita lewat proses pendidikan tersebut.

Pemahaman akan kebutuhan tersebut sudah TERLUPAKAN dengan BUDAYA pergaulan yang semakin abstrak, teknologi yang semakin adiktif, dan banyak hal yang mempengaruhi kita untuk melupakan apa yang seharusnya kita kerjakan. Hanya ingin ini, ingin itu, tanpa memikirkan konsekuensinya...

Komunikasi di masyarakat kita sangat minim sejak masuknya teknologi yang terus berkembang, dan edukasi sosial semakin memilukan seiring terjadinya akibat dari masalah yang terselubung dimasyarakat yang awalnya terjadi hanya karena MALAS untuk menyikapi rasa kesal yang kita rasakan, yang awalnya terjadi hanya karena EKSPEKTASI...

EKSPEKTASI kita "ah, ulangan besok mah ga perlu belajar. gimana besok aja" karena MALAS menghadapi gurunya? AKTUALISASI-nya di hari H kita hanya bisa bilang "ini gimana?!". Betul ga?
Padahal FOKUS utamanya, BUKAN pada gurunya. Tapi pada MATERI yang diberikan guru tersebut..

Istirahat sejenak jika anda mulai lelah membaca artikel ini, minum dulu. Karena OTAK kita juga butuh nutrisi untuk bisa melanjutkan berpikir. Jika sudah, mari dilanjutkan kembali...

Di bawa SANTAI, SERIUS boleh. Tapi ingat kita ini manusia biasa, kemampuan otak kita untuk berpikir itu mengandalkan ENERGI yang kita konsumsi dari MAKAN dan MINUM.

Sambil me-review sedikit,
mari kita lanjutkan bersama saya di artikel ini.

Ekspektasi kita waktu kecil MUNGKIN bisa kita sebutkan tanpa pikir panjang, seperti "saya ingin jadi baja hitam!" (udah jelas ngawur lha ya), saya ingin jadi dokter! profesor! orang kaya! dll. Awal mulanya hal tersebut adalah indah, ketika kita membayangkan..

Kita membayangkan, jadi dokter itu mudah ya? Hanya mendengar denyut jantung, bisa langsung tau kalau kita sakit apa. Mungkin anda yang sedang membaca ini pun tertawa sendiri, "apa iya begitu?"

Itulah ekspektasi yang kita bayangkan sesuai dengan ASUMSI yang ada dikepala kita, tanpa melihat secara NYATA seperti apa prosesnya hingga bisa jadi seperti itu. Kita berpikir terlalu jauh tanpa PENGALAMAN...

Cukup mengerti sampai pada kata PENGALAMAN, jika dilanjutkan mungkin kita bisa mencapai khayalan dimensi ke... Entahlah tingkat berapa... Lihat dulu kenyataannya seperti apa.

Renungan singkat : Coba kembali ke dalam kebiasaan kita, bagaimana kita BISA mengerjakan suatu hal jika materi yang diperlukan pun tak pernah dicoba? Buku pun jarang kita baca? Mendengar pun tak pernah?

Apakah dosen sudah maksimal, padat dan lengkap dalam menjelaskan materi yang kita butuhkan? Jika anda ingin menjadi dokter, apakah anda akan belajar mengenai ilmu bahan bangunan?

Gunakan LOGIKA anda untuk terus berpikir. Saya mengerti anda lelah, namun jangan biasakan otak itu nganggur. Begitu otak nganggur, mereka hanya memikirkan hal-hal yang ga masuk di akal (ngeyel) Saya ajak anda untuk terus berpikir karena pada dasarnya kita manusia itu ajaib, asalkan kita menggunakan apa yang kita miliki dengan baik. Ga perlu takut, anda bisa mem-bookmark artikel ini untuk di baca lain kali.

Pertanyaan-pertanyaan dalam artikel ini hanya membantu memicu anda untuk terus berpikir. Karena pada kenyataannya, tanpa orang tua anda yang mensupport anda dari sisi finansial, edukasi keseharian, kita tak lebih dari sebongkah daging yang hanya bisa berharap mimpi kita akan turun dari langit hanya dengan berdoa?

Percuma anda ke tempat ibadah, berdoa setiap hari jika tanpa melakukan hal-hal yang relevan dengan keinginan anda jika hati anda hanya di isi dengan nafsu akan mimpi-mimpi yang tidak relevan. Tidak perlu menyalahkan Tuhan dengan keyakinan yang anda miliki, Dia sudah berikan kita AKAL SEHAT dan BUDI PEKERTI. Namun, apakah kita sudah menggunakannya dengan maksimal?

Bersyukurlah kita diberikan AKAL SEHAT dan BUDI PEKERTI yang membuat kita BERPIKIR dan BELAJAR dari kesalahan. Ups, bukan kesalahan yah.. Tepatnya PENGALAMAN, sadari lah bahwa pengalaman itu MAHAL. Anda harus mengorbankan waktu, uang, tenaga untuk MENYADARI suatu hal.

Sebetulnya buku itu adalah peta SUKSES yang bisa kita jadikan pegangan supaya kita tidak perlu mengalami kegagalan, namun kita cenderung meremehkannya karena toh pada akhirnya... toh begini... toh begitu... (berasumsi dengan pikiran kita sendiri) Mau sampai kapan berpikir, mencoba, gagal lagi dan lagi? Memang tak semua buku berisi mengenai KEBENARAN. Semua orang bercerita, mengimplementasikannya dengan fakta-fakta yang dirancang, dan tidak semua buku memberi tau isi dari kebenarannya (kita sebagai konsumen juga harus jeli untuk memilih buku yang akan kita konsumsi)

Kenapa kita rela bayar mahal untuk konsumsi yang sifatnya hanya untuk kesenangan sesaat? Sedangkan untuk membayar sebuah pengetahuan kita enggan? Apakah karena buku-buku tersebut banyak yang tidak membuat kita berkembang? Atau karena kita MALAS? Di mana sebetulnya, kita hanya perlu mengambil ESENSI dari sebuah cerita yang diimplementasikan oleh si pengarang buku...

KESALAHAN YANG UMUM JUGA. Jika buku adalah sebuah peta harta karun. Apakah kita akan bergerak untuk menuju harta karun tersebut? Saya maklumi jika anda tidak mampu untuk membeli buku karena kurangnya kemampuan finansial, mau tidak mau harus mau menjalani rutinitas kasar. Tapi bagi anda yang memiliki kemampuan finansial, mohon jawab pertanyaan tersebut (dalam hati).

Kenyataannya, banyak orang yang lebih sulit dari kita tidak mengeluh akan rutinitas yang dijalaninya RELA membeli buku tersebut dan TEKUN mempelajarinya hingga beres. Kenapa kita yang secara finansial mampu membeli peta harta karun tersebut justru cenderung mengeluh kurang ini, kurang itu? Buku-buku ditumpuk dan hanya dijadikan alas tidur..

Percuma kita punya PETA HARTA KARUN jika kita tidak MENCOBA. Semua orang bersaing untuk mendapatkan harta karun, sedangkan kita yang sudah jelas-jelas memegang peta harta karun hanya terdiam dan menganalisa orang-orang yang sedang bersaing meraih harta karun...

Tampaknya cukup sekian kita gali arti dari sebuah TANGGUNG JAWAB. Boleh saya ulangi kembali pertanyaan di awal artikel? Siapa yang bertanggung jawab dengan semua itu?

Sekedar mengingatkan, hal yang saya tulis dari awal hingga akhir tidak ada hubungannya dengan siapa pun. Dan saya hanya mengingatkan agar anda tidak langsung percaya materi ini. Saya memang menulis artikel ini, namun saya bertanggung jawab penuh dengan kehidupan saya sendiri.

Jika anda percaya begitu saja, maka yang bertanggung jawab dengan kehidupan anda sendiri adalah ... ? ~ TIPS : Biasakan untuk MENCARI TAU sebelum MENCOBA, seperti meminum sebuah obat, apakah anda akan langsung meminumnya sesuai anjuran orang lain, meminum sesuai anjuran pakar atau membaca aturan pakainya terlebih dahulu?

CLUE :
Pakar juga MANUSIA yang TIDAK SELALU BENAR.




My Best Regards,


Martinus Kevin Kamawijaya



Artikel lain :
- There's NO ordinary Life
- Kekhawatiran Menguras WAKTU Kita ?
- Sekedar Nostalgia dengan ESENSI bermain game RPG
- Glossy or Loosy
- Big Boss Never Sleep

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.